Saturday, September 22, 2012

INTEGRASI NASIONAL


PENDAHULUAN
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa.
Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling(1930). Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa.
Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas. Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.
Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan.
Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua “suku-suku-bangsa” yang ada di Indonesia. Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya.
Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan. Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
PEMBAHASAN
Kata integrasi berasal dari bahasa inggris, integration yang berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Integrasi juga berarti proses mengkoordinasikan berbagai tugas, fungsi, dan bagian-bagian, sedemikian rupa dapat bekerja sama dan tidak saling bertentangan dalam pencapaian sasaran dan tujuan.
Webster’s New Collegiate Dictionary menguraikan, to integrate: 1. to form or blend into a whole; 2. to unite with something else; 3. to end the segregation orf and bring into comoon and equal membership in society or an organization. integrasi suatu bangsa terjadi karena adanya perpaduan dari berbagai unsur, seperti suku bangsa, tradisi, kepercayaan atau agama, social budaya, dan budaya ekonomi sehingga terwujud satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, social, dan budaya yang membentuk jati diri suatu bangsa. Proses integrasi tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan suatu proses yang panjang dalam waktu yang cukup lama. Integrasi dapat dibedakan menjadi tiga :
  1. Integrasi kebudayaan
Integrasi kebudayaan adalah penyesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga mencapai keserasian fungsi dalam kehidupan masyarakat
  1. Integrasi sosial
Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan sosial, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi bagi masyarakat tersebut.
Para penganut paham fungsionalisme struktrua menyatakan bahwa sistem sosial terintegrasi di atas dua landasan yaitu,
Masyarakat terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Masyarakat terintegrasi oleh karena anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial. Hal tersebut dikenal dengan cross cuting affiliations yaitu adanya loyalitas ganda para anggota masyarakat. Hal ini akan meminimalisir terjadinya suatu konflik karena dengan adanya loyalitas ganda maka konflik yang akan segera dinetralkan.
Sedangkan para penganut paham pendekatan konflik, menyatakan bahwa suatu integrasi dapat terwujud atas adanya coercion (paksaan) dari suatu kelompok / satuan sosial dominan terhadap kelompok / satuan kelompok lain, atau pun adanya saling ketergantungan di bidang ekonomi antara berbagai kelompok / satuan sosial yang ada dalam masyarakat.
Syarat-syarat integrasi sosial ; integrasi sosial dapat terbentuk apabila para anggota masyarakat bersepaka mengenai struktur kemasyarakatan, nilai-nilai, dan norma serta pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Di samping itu juga diperlakukan adanya kesepakatan mengenai batas teritorial / wilayah yang jelas akan tempat / negara yang mereka tinggali. William F. Ogburn dan Mayern Nimkoff mengemukakan tentang syarat berhasilnya suatu integrasi sosial sosial yaitu kemampuan untuk mengisi kebutuhan anggota masyarakat satu dengan lainnya, sehingga terjalin hubungan yang baik dan saling menjaga keterikatan satu dengan yang lain. Nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut berlaku dalam waktu yang cukup lama dan telah dilaksanakan secara konsisten.
Faktor pendorong integrasi sosial
Integrasi sosial dapat terjadi apabila didukung oleh berbagai faktor : a. Homogenitas kelompok, integrasi sosial akan lebih mudah di capai ketika tingkat kemajemukan suatu masyarakat tersebut kecil, b. Besar kecilnya kelompok, tingkat kemajemukan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh besar kecilnya kelompok yang ada, c. Mobilitas geografis, terjadinya perpindahan menyebabkan terjadinya penyesuaian diri dengan keadaan sosial budaya masyarakat yang dituju, d. Efektivitas dan efesiensi komunikasi. Komunikasi merupakan media yang sangat penting dari proses integrasi sosial yang akan diciptakan.
  1. Integrasi nasional
Integrasi nasional adalah proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan di masyarakat secara nasional sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat tersebut.
Integrasi adalah proses sosiologis dan antropologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu yang singkat. Tetapi memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik diantara suku bangsa (etnik) yang ada di dalam negara kesatuan Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C. Coser dan George Simell, maka kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada dalam bayang-bayang konflik antar etnik yang berkepanjangan. Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte, melalui Durkheim sampai denganParsons, maka yang akan menjadi faktor mengientegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang kesepakatan bersama antar masyarakat.
Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati  secara bersama itu tidak hanya disepakati oleh sebagian besar orang (etnik), akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus dihayati melalui proses sosialisasi, akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan bersama dalam sumpah pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan rakyat Indonesia secara sosial dan politik dengan semboyannya; satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa.
Mengikuti pemikiran R. William Liddle, konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada hakekatnya adalah mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Kedua syarat itu adalah: 1). Pertama sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik di mana mereka sebagai warganya.2). Apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah negara yang bersangkutan. Lebih lanjutNasikun (1989; 73) menambahkan bahwa integrasi nasional yang kuat  dan tangguh hanya akan berkembang diatas konsensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku  seluruh masyarakat tersebut. Kemudian, suatu konsensus nasional mengenai bagaimana  suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan, melalui suatu konsensus nasional mengenai “sistem nilai” yang akan mendasari hubungan-hubungan sosial diantara anggota suatu masyarakat negara.
Sementara itu, menurut Max Weber bahwa sistem nilai merupakan dasar pengesahan (legitimacy) dari struktur kekuasaan (authority) suatu masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan, pada akhirnya akan merupakan konsensus nasional terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, maka proses integrasi nasional haruslah berjalan alamiah, sesuai dengan keanekaragaman budayanya dan harus lepas dari hegemoni dan dominasi peran politik etnik tertentu.
Proses integrasi harus melalui fase-fase sosial dan politik.  Mengikuti alur pemikiran Ogburn danNimkof (penganut fungsionalisme struktural) bahwa integrasi merupakan sebuah proses : Akomodasi—kerjasama—koordinasi—asimilasi. Asimilasi ini merupakan proses dua arah (to way process) antara etnik yang berbeda, sehingga diperoleh sebuah konsensus dan kesepahaman atas dasar keanekaragaman budaya. Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan, dan sebagian harus kita temukan didalam proses pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi negara. Sayang, para elite politik tidak pernah belajar dari sejarah pertumbuhan pancasila, sehingga orientasi mereka bukanlah semata-mata untuk kepentingan persatuan, kesatuan, dan kejayaan bangsa Indonesia.
Sehingga mereka tidak pernah memahami budaya politik lokal dan aspirasi budaya lokal, yang mereka utamakan adalah kekuasaan, golongan, partai sebagai “eternal oriented”. Akhirnya akses ekonomi dan politik yang seharusnya menjadi milik masyarakat  (etnik) terkooptasi oleh mereka, maka kesenjangan dan ketidakpuasan adalah hasil yang kita lihat sekarang ini. Kalau hal ini terus dipelihara, maka KKN, distorsi hukum, konflik antar etnik, sparatisme, dan keterpurukan akan menjadi santapan pagi seluruh rakyat Indonesia. Dan nasib bangsa Indonesia menjadi “almarhum” macam Uni Soviet dan Yugoslavia tinggal menunggu waktu
Faktor pembenahan pada aspek ekonomi dan pembangunan sangat stratgis dalam membangun integrasi nasional yang lebih kuat. Oleh Mochtar Mas’oed (1986) bahwa integrasi nasional bisa berhasil jika terbangun tiga dimensi modernisasi politik secara siginifikan, yakni: pembinaan bangsa (nation building), pembinaan negara (state building) dan pembangunan ekonomi. Meski tidak berdiri sendiri karena aspek pembangunan dan hubungan sosial dan kepercayaan masyarakat dengan elit juga saling terkait.
Integrasi nasional memang berhubungan satu sama lain dengan problem kebangsaan yang terjadi selama ini, termasuk juga soal relasi sosial yang terbangun di tengah masyarakat, baik antara masyarakat dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan negara (pemerintah). Terlebih lagi pada aspek ekonomi hubungannya dengan proses pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. didukung oleh pendapat Higgins yang memahami integrasi nasional dengan melihat proses penyatuan kelompok budaya dan sosial pada satu kesatuan wilayah dan identitas nasional. Diarahkan pada pembentukan wewenang kekuasaan nasional atas unit-unit politik yang lebih kecil (kelompok sosial). Selain itu, integrasi sering digunakan untuk menunjuk integrasi elite dan masyarakat, termasuk sikap dan perilaku integratif warga negara serta penguatan pada konsensus nilai dalam memelihara ketertiban sosial dan penyelesaian konflik.
KESIMPULAN
Kata integrasi berasal dari bahasa inggris, integration yang berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Integrasi dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu, integrasi sosial, integrasi kebudayaan, dan integrasi nasional. Integrasi suatu bangsa terjadi karena adanya perpaduan dari berbagai unsur, seperti suku bangsa, tradisi, kepercayaan atau agama, sosial budaya dan sistem ekonomi sehingga terwujud satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang membentuk jati diri suatu bangsa.
Proses integrasi tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan suatu proses yang panjang dalam waktu yang cukup lama. Integrasi nasional memang berhubungan satu sama lain dengan problem kebangsaan yang terjadi selama ini, termasuk juga soal relasi sosial yang terbangun di tengah masyarakat, baik antara masyarakat dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan negara (pemerintah).
DAFTAR PUSTAKA
Nurseno. 2004. Kompetensi Dasar Sosiologi. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Suharko, dkk. 1996. Pengantar Sosiologi. Klaten: Intan Pariwara.

No comments:

Post a Comment